Selasa, 10 Januari 2012

Bentuk-Bentuk Pemberian Kepercayaan Dalam Mu’amalah (Al - Ijarah,Al - Ariyah,Ar - Rahn,Al – Wakalah)

 
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah ”FIQIH 1”

Dosen Pengampu :
A. Wahab A. Khalil, MA



Di Susun Oleh:
Miftachul Ngulum         (9321 058 10)
Binti Anisa Hayati        (9321 176 10) 
M Arif Hidayat             (9321 144 10)

Jurusan Tarbiyah
Program Studi Pendidikan Agama Islam
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2011

BAB I
PENDAHULUAN
 
Dalam kehidupan sehari – hari bermasyarakat pasti kita akan menemui kata muamalah.Dan kita pasti juga pernah melakukan muamalah tersebut.Pengertian muamalah secara istilah dapat dibagi menjadi dua macam,yaitu pengertian mu’amalah dalam arti luas dan pengertian mu’amalah dalam arti sempit.
Dalam arti luas mu’amalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah yang mengatur manusia dalam kaitanya dengan urusan duniawi.Sedangkan mu’amalah dalam arti sempit adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitanya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.
Dan yang akan di bahas dalam makalah ini adalah Bentuk-Bentuk Pemberian Kepercayaan Dalam Muamalah yaitu Al-Ijarah,Al-Ariyah,Ar-Rahn dan Al–Wakalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Al – Ijarah
   1.Pengertian dan Dasar hukumya
            Ijarah secara bahasa berarti upah dan sewa,jasa atau imbalan.Ijarah sesungguhnya merupakan transaksi yang memperjual belikan manfaat suatu harta benda.Transaksi ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan mu’amalah yang banyak dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup.[1]Adapun definisi ijarah yang disampaikan oleh kalangan fuqoha antara lain sebagai berikut:                   
و قل الحنفية الايجارعقدعلى المنافع بعو ض و عرفه الشافعية اليجارعقدعلى منغعه مقصودة معلو مة مباحة قا بلة التبا ذل والاباحة بعوض معلومٍ  و قل الما لكيه الايجار تملبك منا فع شيئ مبا حة مدة معلومة بعوض  وبمثل ذلك قل الحنا بلة
"Menurut fuqoha hanafiyah,ijarah adalah akad atau transaksi terhadap manfaat atau imbalan.Menurut fuqoha syafi’iyah ijarah adalah transaksi terhadap manfaat yang dikehendaki secara jelas harta yang bersifat mubah dan dapat dipertukar dengan imbalan tertentu.Menurut fuqoha malikiyah dan Hanabilah ijarah adalah pemilikan manfaat suatu harta benda yang bersifat mubah selama periode waktu tertentu dengan suatu imbalan.[2]
            Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh di sewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Manfaat yang di maksud dalam ijarah disini adalah manfaat yang di hasilkan dengan adanya aqad ijarah tersebut.Manfaat ini ada dua macam yaitu:
  1. manfaat yang berasal dari barang yang disewakan, misalnya menempati rumah,menaiki kendaraan,menggunakan peralatan dan sebagainya.disini ijarah berarti sewa menyewa.
  2. Manfaat yang berasal dari pekerjaan seseorang,misalnya:tukang jahit,tukang tenun,tukang kayu,tukang batu,tukang cukur,pembantu rumah tangga,karyawan ,buruh dan sebagainya.disini ijarah berari upah mengupah.
            Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Quran,As-Sunah dan ijma’.
    a.Al-Qur’an
.... ÷bÎ)ur öN?Šur& br& (#þqãèÅÊ÷ŽtIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& Ÿxsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sŒÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/  (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ׎ÅÁt/ ÇËÌÌÈ  
Artinya:”....Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.(Al-Baqarah :233).
   b.As-Sunah
            )H.R. Ibnu Majah dari Ibnu Umar)        اُعْطُوا أْْلاَ حٍِيْرَ اجْرَهُ قَبْلَ اَنُ يَحِفَّ عَرَ قُهُ
            Artinya:”Berikanlah Upah pekerja sebelum keringatnya kering”.  )H.R. Ibnu Majah dari Ibnu Umar).
   c.Ijma’
            Umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan karena sebab manfaat bagi manusia.
   2.Rukun dan syarat ijarah
          Di dalam ijarah terdapat rukun dan tiap-tiap rukun itu ada syarat-syarat tertentu agar ijarah sah hukumya.Rukun dan syarat ijaroh tersebut adalah:[3]
1)      Orang yang menyewa atau mengupah (musta’jir) dan orang –orang yang menyewakan/ di upah (ajir).Syarat keduanya adalah yang telah memenuhi syarat sebagai berikut:
a.       Berakal.
b.      Dengan kehendak sendiri (tidak di paksa).
c.       Tidak mubadzir.
d.      Mumayyis
2)      Ijab Qabul. Syaratnya:
a.       Menggunakan lafal upah mengupah atau sewa menyewa.
b.      Dimengerti oleh kedua belah pihak.
c.       Muwalah / bersambung antar ijab dan qabul.
3)       Syarat Manfaat dalam ijarah adalah:
a.       Benar-benar berharga.
b.      Manfaat itu tidak menghilangkan barang yang disewakan.Tidak syah menyewakan barang yang menghabiskan barang yang disewakan.
c.       Dapat diserah terimakan
d.      Diketahui jelas ukuran,jumlah dan lama waktunya.
e.       Tidak bertentangan dengan ajaran agama.
f.        Tidak berupa suatu kewajiban.
   3.Pembagian dan hukum Ijarah
          Ijarah Terbagi menjadi dua,yaitu ijarah terhadap benda atau sewa menyewa dan ijarah atas pekerjaan atau upah mengupah.[4]
   A.Hukum Sewa Menyewa
            Dibolehkan ijarah atas barang mubah,seperti rumah,kamar dan lain-lain tetapi dilarang ijarah terhadap benda-benda yang di haramkan.
1)      Ketetapan hukum akad dalam ijarah
Menurut Ulama hanafiyah ketetapan akad ijaroh adalah kemanfaatan yang  mubah.Menurut Ulama malikiyah hukum ijarah sesuai dengan keberadaan manfaat.Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum ijarah tetap pada keadanya,dan hukum tersebut menjadikan masa sewa,seperti benda yang tampak.
Perbedaan  pendapat diatas berlanjut pada hal-hal berikut:
a)      Keberadaan Upah dan hubunganya dengan akad.
Menurut Ulama Syafi’iyah keberadaan upah bergantung pada adanya akad.
Menurut Ulama Hanafiyah dan Malikiyah upah dimiliki berdasarkan akad itu sendiri,tetapi diberikan sedikit demi sediki,bergantung pada kebutuhan aqid.
Menurut Ulama hanafiyah dan malikiyah,kewajiban upah di dasarkan pada tiga perkara:
1.      Menyaratkan upah untuk dipercepat dalam zat akad.
2.      Mempercepat tanpa adanya syarat.
3.      Dengan kemanfaatan sedikit demi sedikit.Jika dua orang yang akad bersepakat untuk mengakhirkan upah,hal itu di perbolehkan.
b)      Barang sewaan atau pekejaan diberikan  setelah akad
Menurut Ulama hanafiyah dan malikiyah ma’qud alaih (barang sewaan) harus di berikan setelah akad.
c)      Ijarah Dikaitkan dengan masa yang akan datang
Ijarah untuk waktu yang akan datang dibolehkan menurut ulama malikiyah,hanabilah dan Hanafiyah,Sedangkan Ulama Syafi’iyah melarangnya selagi tidak bersambung dengan waktu akad.
2)      Cara Memanfaatkan barang sewaan
a.       Sewa Rumah
Jika seseorang menyewa rumah,dibolehkan untuk memanfaatkanya sesuai kemauanya,baik dimanfaatkan sendiri atau dengan orang lain,bahkan boleh disewakan lagi atau dipinjamkan dengan orang lain.
b.      Sewa Tanah
Sewa Tanah diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa yang akan ditanam atau bangunan apa yang akan didirikan diatasnya.Jika tidak dijelaskan ,Ijaroh dipandang rusak.
c.       Sewa Kendaraan
Dalam menyewa kendaraan,baik hewan atau kendaraan yang lainya harus dijelaskan salah satu diantara dua hal,yaitu waktu dan tempat.Juga harus dijelaskan barang yang akan dibawa atau benda yang akan diangkut.
3)      Perbaikan barang sewaan
Menurut Ulama hanafiyah,jika barang yang disewakan rusak seperti pintu rusak atau dinding jebol dan lain sebagainya,Pemiliknyalah yang berkewajiban memperbaikinya,tetapi ia tidak boleh dipaksa sebab pemilik barang tidak boleh dipaksakan untuk memperbaiki barangnya sendiri.Apabila penyewa bersedia memperbaikinya,ia tidak diberikan upah sebab dianggap sukarela.
Adapun hal-hal kecil seperti membersihkan sampah atau tanah marupakan kewajiban penyewa.
4)      Kewajiban Penyewa sehabis masa pakai
Diantara Kewajiban pennyewa setelah masa sewa habis adalah:
a.       Menyerahkan kunci jika yang disewa rumah.
b.      Jika yang disewa kendaran,ia harus menyimpanya kembali di tempat asalnya.
   B.Hukum Upah Mengupah
Upah Mengupah (Ijarah ‘ala al-a’mal) yakni jual beli jasa, biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahitkan pakaian,membangun rumah,dan lain-lain.
1)      Macam-macam Ijarah ‘ala al-a’mal
Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi menjadi dua yaitu:
1.      Ijarah khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja.Hukumnya,orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang memberinya upah.
2.      Ijarah Musytarik
Yaitu Ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama.Hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan orang lain.
2)      Tanggung jawab yang disewa (Ajir) dan gugurnya upah
1.      Ajir khusus
Sebagaimana dijelaskan diatas adalah orang yang bekerja sendiri dan menerima upah sendiri,seperti pembantu rumah tangga.Jika ada barang yang rusak,ia tidak bertanggung jawab untuk menggantinya.
2.      Ajir Musytarik
Sebagaimana dijelaskan diatas adalah orang yang bekerja bersama-sam seperti pekerja pabrik  dan lain-lain.Para Ulama berbeda pendapat menetapkan tanggung jawab mereka.
Ulama hanafiyah ,jafar,hasan bin jiyad dan imam syafi’i mereka berpendapat  Jika ada barang yang rusak mereka tidak bertanggung jawab atas kerusakan sebab kerusakan itu bukanlah disebkan oleh mereka.
Imam ahmad dan dua sahabat  imam abu hanifah mereka berpendapat bahwa ajir bertanggung jawab atas kerusakan jika kerusakan disebabkan oleh mereka walaupun tidak disengaja ,kecuali disebabkan oleh hal-hal yang umum terjadi.
Menurut ulama malikiyah pekerja bertanggung jawab atas kerusakan yang disebkannya walaupun tidak disengaja atau karena kelalaianya.
3)      Gugurnya Upah
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan upah bagi ajir,apabila barang yang ditanganya rusak.
Menurut ulama Syafi’iyah jika ajir bekerja di tempat yang dimiliki oleh penyewa,ia tetap memperoleh upah.Sebaliknya,apabila barang berada ditanganya,ia tidak mendapatkan upah.
Menurut ulama Hanafiyah juga hampir senada dengan pendapat diatas,hanya saja diuraikan lagi:
Jika benda ada di tangan ajir,jika ada bekas pekerjaan ajir berhak mendapat upah sesuai bekas pekerjaan tersebut.Jika tidak ada bekas pekerjaan,ajir berhak mendapatkan upah atas pekerjaanya sampai akhir.
Jika benda berada ditangan penyewa,pekerja berhak mendapat upah setelah selesai  bekerja.
   4.Akhir Ijarah
  1. Menurut ulama Hanafiyah,Ijarah dipandang habis dengan meninggalnya salah seorang yang berakad,sedangkan ahli waris tidak memiliki hak untuk meneruskanya.Adapun menurut jumhur ulama ijarah itu tidak batal tetapi diwariskan.
  2. Pembatalan akad
  3. Terjadi kerusakan pada barang yang di sewa.Akan tetapi menurut ulama lainya kerusakan pada barang sewaan tidak menyebabkan habisnya ijaroh,tetapi harus diganti selagi masih dapat diganti.
  4. Habis waktu ijarohnya.
B.Al – Ariyah
   1.Pengertian dan dasar hukum al-ariyah
          Menurut bahasa ariyah adalah ( الاَرِِيَةُ ) diambil dari kata (عَارَ ) yang berarti datang dan pergi.Menurut sebagian pendapat al-ariyah berasal dari kata (التَّعَاوُرُ) yang sama artinya dengan (َ اَلتَّنَاوُلُ اَوِِالتَّنَاوُب) (Saling tukar menukar dan mengganti),yakni dalam tradisi pinjam meminjam.
Sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat:
  1. Menurut Ulama Hanafiyah, ariyah ialah:
    “Pembolehan memiliki manfaat secara Cuma-Cuma”    
  2. Menurut Ulama malikiyah, ariyah ialah: 
    “Pembolehan Memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.     
  3.  Menurut Ulama syafiiyah, ariyah adalah:          
    “Kebolehan mengambil manfaat dari sesorang yang membebaskannya,apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
  4. Menurut Hambali, Ariyah ialah:
    “kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”     
                Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa di ganti
    Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ariyah ialah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis).
    Bila diganti dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ariyah.   
            Al-Ariyah dianjurkan dalam islam yang di dasarkan pada Al-Qur’an dan sunnah.[5]
    a. Al-Qur’an
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ  
Artinya:…”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”(QS. Al-Maidah : 2)
  b.Sunah
            Dalam hadist bukhori dan muslim dari anas dinyatakan bahwa Rasulullah SAW telah meminjam kuda dari abu thalhah,kemudian beliau mengendarainya.
            Dalam hadist lain yang  diriwayatkan abu dawud dengan dari shafwan ibnu numayyah pada waktu perang hunain,shafwan bertanya,”apakah engkau merampasnya ,ya Muhammad?” Nabi menjawab “Cuma meminjam dan aku bertanggung jawab.”
   2.Rukun dan Syarat Al-Ariyah
     a.Rukun Ariyah
          Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang,sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah.
            Menurut ulama syafi’iyah dalam ariyah disyaratkan adanya lafadz shighat akad,yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.
            Secara umum,jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat yaitu:
1)      Mu’ir (peminjam)
2)      Musta’ir (yang meminjamkan)
3)      Mu’ar (barang yang dipinjam)
4)      Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat,baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.
b.Syarat Al-Ariyah
          Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad Al-Ariyah sebagai berikut:
1)      Mu’ir berakal sehat
Dengan demikian,orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang.Ulama hanafiyah tidak mensyaratkan sudah baligh,sedangkan ulama yang lainya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya,tanpa dipaksa,bukan anak kecil,bukan orang bodoh dan bukan orang yang pailit(bangkrut).
2)      Pemegangan barang oleh peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan yang dianggap syah memegang barang adalah peminjam,seperti halnya dalam hibah.
3)      Barang (musta’ar) dapat diamanfaatkan tanpa merusak zatnya  jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan akad tidak syah.
Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah diperbolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya ,seperti meminjam tanah,pakaian binatang dan lain-lain.
   3.Hak memanfaatkan barang pinjaman (musta’ar)
          Jumhur ulama selain hanafiyah berpendapat bahwa musta’ar dapat mengambil manfaat barang sesuai dengan izin mu’ir(orang yang memberi pinjaman).
            Adapun Ulama hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar bergantung pada jenis pinjaman,apakah mu’ir meminjamkanya secara terikat (muqayyad) atau mutlak.
a)      Ariyah Mutlak
Ariyah mutlak yaitu pinjam meminjam barang yang dalam akad transaksi tidak di jelaskan persyaratan apapun seperti apakah pemanfaatanya hanya untuk peminjam saja atau dibolehkan orang lain,atau tidak dijelaskan cara penggunaanya.Contohnya:Seorang meminjam binatang,namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan binatang tersebut,misalnya waktu dan tempat mengendarainya.Jadi hukumnya sebagaimana pemilik hewan-hewan ,yaitu dapat mengambil.Namun demikian,harus sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat.Tidak dibolehkan menggunakan binatang tersebut siang malam tanpa henti.Sebaliknya,jika penggunaanya tidak sesuai kebiasaan dan pinjaman rusak,peminjam harus bertanggung jawab.
b)      Ariyah Muqayyad
            Ariyah Muqayyad adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan kemanfaatanya,baik disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya.Hukumnya,peminjam harus sedapat mungkin untuk menjaga batasan tersebut.Hal ini karena asal dari batas adalah menaati batasan,kecuali ada kesulitan yang menyebabkan peminjam tidak dapat mengambil manfaat barang.Dengan demikian,Dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut  apabila kesulitan untuk memanfaatkanya.
1.      Batasan penggenaan ariyah oleh dari peminjam
      Jika Mu’ir membatasi hak penggunaan manfaat itu untuk dirinya sendiri dan masyarakat memandang adanya perbedaan tentang penggunan dalam hal lainya,seperti mengendarai binatang atau memakai pakaian.Dengan demikian,peminjam tidak boleh mengendarai binatan atau memakai pakaian yang ada.
2.      Pembatasan waktu atau tempat
      Jika ariyah yang dibatasi waktu dan tempat,kemudian peminjam melewati tempat dan menambah waktunya,ia bertanggung jawab atas penambahan tersebut.
3.      Pembatasan ukuran berat dan jenis
      Jika yang  disyaratkan adalah berat barang atau jenis kemudian kemudian ada kelebihan dalam bobot tersebut,ia harus menanggung sesuai dengan kelebihanya.
            Jika perbedaan pendapat anta mu’ir(orang yang meminjamkan baarang) dengan musta’ir (peminjam) tentang lamanya waktu meminjam,berat barang yang dibawa barang pinjaman atau tempat meminjam,pendapat yang harus dimenangkan atau diterima adalah pendapat mi’ir,karena dialah yang pemberi izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan keinginanya.
  
4. Akhir Ariyah
  1. Ariyah dipandang habis dengan meninggalnya salah seorang yang berakad
  2. Pembatalan akad
  3. Habis waktu ariyahnya.
C.Ar - Rahn (Pinjaman Dengan Jaminan/Gadai)
   1.Pengertian dan dasar hukum Ar - Rahn
          Menurut bahasa,gadai (ar-rahn) berarti al-tsubut dan al habs yaitu penetapan dan penahanan.Ada pula yang menjelaskan bahwa ar-rahn adalah terkurung atau terjerat.[6]
            Menurut istilah syara’ ada beberapa pendapat yang menjelaskan tentang ar-rahn diantaranya:
a)      Ar-Rahn adalah akad yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.
b)      Ar-Rahn (gadai) adalah akad perjanjian pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
c)      Ar-Rahn (gadai) adalah menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
Dalil – dalil yang mensyari’atkan  ar - rahn adalah dari Al-Qur’an dan Hadist diantaranya sebagai berikut:
a.       Al-Qur’an
bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÇËÑÌÈ